Ketika Tanah Berteriak: Kisah Perjuangan Masyarakat Adat Melawan Cengkeraman Konflik Agraria
Pendahuluan: Tanah, Akar Identitas dan Kehidupan
Tanah bukan sekadar hamparan bumi, sebidang properti yang tercatat dalam sertifikat, atau komoditas yang diperdagangkan di pasar global. Bagi masyarakat adat di seluruh penjuru dunia, khususnya di Indonesia, tanah adalah jantung kehidupan, akar identitas, dan warisan leluhur yang tak ternilai harganya. Ia adalah perpustakaan pengetahuan, apotek herbal, lumbung pangan, tempat ritual suci, dan kuburan para nenek moyang. Hubungan mereka dengan tanah adalah ikatan spiritual, budaya, dan ekonomis yang tak terpisahkan. Namun, di tengah gemuruh pembangunan dan laju investasi, ikatan suci ini sering kali terkoyak oleh gelombang konflik agraria yang tak berkesudahan, meninggalkan jejak air mata, darah, dan kehancuran. Artikel ini akan mengupas tuntas akar konflik agraria, identitas masyarakat adat sebagai fondasi perjuangan, bentuk-bentuk penindasan, dampak tragis, strategi perlawanan, serta tantangan dan harapan di masa depan.
Akar Konflik Agraria: Sejarah, Kebijakan, dan Ekonomi
Konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat bukanlah fenomena baru, melainkan akumulasi dari sejarah panjang pengabaian dan eksploitasi. Akarnya dapat ditarik mundur hingga era kolonial, di mana konsep tanah sebagai "milik negara" diperkenalkan melalui aturan seperti Domein Verklaring (1870). Aturan ini secara efektif menafikan keberadaan hak-hak komunal masyarakat adat atas tanah ulayat mereka. Pasca-kemerdekaan, semangat reformasi agraria yang diamanatkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 yang mengakui hak ulayat, justru sering kali tergerus oleh kebijakan pembangunan yang sentralistik dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi di era Orde Baru.
Paradigma pembangunan yang didominasi sektor ekstraktif dan monokultur skala besar – seperti perkebunan kelapa sawit, pertambangan batu bara, nikel, emas, hingga izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan infrastruktur raksasa – menjadi pemicu utama konflik. Negara, melalui berbagai undang-undang sektoral seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perkebunan, dan UU Penataan Ruang, seringkali memberikan izin konsesi kepada korporasi tanpa persetujuan atau bahkan sepengetahuan masyarakat adat yang telah mendiami dan mengelola wilayah tersebut secara turun-temurun.
Ketidakselarasan antara hukum negara yang positivistik dengan hukum adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat menjadi jurang pemisah yang memperparah konflik. Pemerintah pusat dan daerah cenderung mengutamakan kepentingan investasi dan penerimaan negara daripada hak-hak konstitusional masyarakat adat. Ini menciptakan kondisi di mana hak ulayat masyarakat adat dianggap "tidak ada" atau "tidak diakui" karena belum ada regulasi khusus yang mengaturnya secara komprehensif, meskipun Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 telah menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara.
Identitas dan Hak Ulayat: Fondasi Perjuangan
Masyarakat adat, atau sering disebut juga masyarakat hukum adat, adalah kelompok-kelompok yang memiliki asal-usul leluhur yang sama, hidup di wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai, budaya, bahasa, dan hukum adat sendiri yang mengatur kehidupan mereka, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Bagi mereka, tanah ulayat bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga manifestasi dari identitas kolektif, warisan nenek moyang, dan jaminan masa depan bagi generasi mendatang.
Hak ulayat adalah hak komunal atas tanah yang dimiliki dan dikelola secara bersama oleh suatu komunitas adat berdasarkan hukum adat mereka. Hak ini mencakup hak untuk menguasai, menggunakan, memungut hasil, dan mengatur pemanfaatan tanah dan sumber daya alam di dalamnya. Hilangnya tanah ulayat berarti hilangnya kedaulatan pangan, terputusnya transmisi pengetahuan lokal, lenyapnya praktik-praktik budaya, hingga tercerabutnya akar spiritual yang membentuk identitas mereka. Oleh karena itu, perjuangan masyarakat adat untuk mempertahankan tanah ulayat adalah perjuangan untuk mempertahankan eksistensi dan identitas mereka sebagai sebuah bangsa.
Bentuk-bentuk Penindasan dan Kekerasan dalam Konflik Agraria
Konflik agraria seringkali diwarnai dengan praktik penindasan dan kekerasan yang sistematis, menargetkan masyarakat adat yang berupaya mempertahankan hak-haknya:
- Penggusuran Paksa dan Perampasan Tanah: Ini adalah bentuk paling nyata dari konflik, di mana tanah ulayat masyarakat adat diserobot atau dicaplok oleh korporasi atau negara, seringkali dengan dukungan aparat keamanan. Prosesnya seringkali tidak transparan, tanpa konsultasi bermakna, dan tanpa ganti rugi yang layak.
- Kriminalisasi Pejuang Agraria: Para pemimpin adat, aktivis, dan anggota komunitas yang melawan seringkali dijerat dengan pasal-pasal karet dalam undang-undang seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, atau KUHP, dituduh sebagai "perambah hutan," "pencuri sawit," atau "provokator." Ini adalah taktik efektif untuk melemahkan perlawanan dan menyebarkan ketakutan.
- Intimidasi dan Kekerasan Fisik: Aparat keamanan, preman bayaran, atau bahkan milisi swasta yang dipekerjakan korporasi seringkali digunakan untuk mengintimidasi, meneror, bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap masyarakat adat. Pembakaran rumah, perusakan ladang, penangkapan sewenang-wenang, hingga pembunuhan bukan lagi cerita asing.
- Pemiskinan dan Fragmentasi Sosial: Hilangnya akses terhadap tanah ulayat menyebabkan masyarakat adat kehilangan mata pencarian tradisional mereka, memaksa mereka bergantung pada upah buruh rendah atau bermigrasi ke kota. Ini merusak struktur sosial, nilai-nilai komunal, dan menciptakan kesenjangan ekonomi di dalam komunitas.
- Perusakan Lingkungan: Kegiatan industri seperti pertambangan dan perkebunan monokultur secara drastis mengubah lanskap, mencemari sumber air, udara, dan tanah, yang secara langsung berdampak pada kesehatan dan keberlanjutan hidup masyarakat adat yang sangat bergantung pada lingkungan yang lestari.
Dampak Tragis Konflik Agraria
Dampak dari konflik agraria jauh melampaui kerugian materiil:
- Pencabutan Hak Hidup dan Kedaulatan Pangan: Masyarakat adat kehilangan kemampuan untuk menanam pangan mereka sendiri, berburu, atau mengumpulkan hasil hutan, yang berujung pada kerawanan pangan dan malnutrisi.
- Hilangnya Identitas dan Pengetahuan Tradisional: Tanah adalah ruang di mana pengetahuan tentang obat-obatan herbal, teknik pertanian berkelanjutan, dan ritual adat diturunkan. Hilangnya tanah berarti punahnya tradisi dan identitas budaya yang telah berakar ribuan tahun.
- Trauma Psikologis dan Keretakan Sosial: Generasi yang tumbuh dalam konflik seringkali mengalami trauma. Ketegangan antara komunitas dengan pihak korporasi/negara, atau bahkan konflik internal akibat perbedaan pandangan dalam menyikapi tawaran perusahaan, dapat merusak kohesi sosial.
- Degradasi Ekologi Skala Besar: Pembukaan lahan besar-besaran, pencemaran limbah, dan hilangnya keanekaragaman hayati tidak hanya merugikan masyarakat adat, tetapi juga berdampak pada keseimbangan ekosistem global, termasuk kontribusi pada perubahan iklim.
- Pelanggaran HAM yang Sistematis: Konflik agraria seringkali dibarengi dengan pelanggaran hak asasi manusia seperti hak atas tanah, hak atas hidup, hak atas kesehatan, hak atas lingkungan yang sehat, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak untuk tidak mengalami diskriminasi.
Strategi Perlawanan dan Solidaritas: Suara yang Tak Pernah Padam
Meskipun menghadapi kekuatan yang timpang, masyarakat adat tidak menyerah. Mereka melancarkan perlawanan dengan berbagai strategi:
- Advokasi Hukum dan Kebijakan: Melalui jalur hukum, mereka mengajukan gugatan ke pengadilan, mengajukan uji materiil undang-undang, dan mendesak pemerintah untuk mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat yang komprehensif.
- Aksi Massa dan Protes Damai: Demonstrasi, blokade jalan, pendirian tenda perjuangan di lokasi konflik, dan aksi simbolik lainnya menjadi cara untuk menarik perhatian publik dan menekan pihak terkait.
- Dokumentasi dan Publikasi: Mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran, mendokumentasikan kasus-kasus kekerasan, dan mempublikasikannya melalui media massa, media sosial, dan laporan LSM untuk membangun kesadaran dan dukungan.
- Membangun Jaringan dan Solidaritas: Bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah (LSM) nasional dan internasional, akademisi, mahasiswa, serta kelompok masyarakat sipil lainnya untuk memperkuat gerakan dan memperoleh dukungan moral maupun teknis.
- Revitalisasi Budaya dan Adat: Menguatkan kembali praktik-praktik adat, ritual, dan hukum adat sebagai bentuk perlawanan kultural dan penegasan identitas di tengah gempuran modernisasi.
- Diplomasi Internasional: Mengadukan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia ke forum-forum internasional seperti PBB dan mekanisme HAM lainnya untuk menekan pemerintah agar memenuhi kewajibannya.
Tantangan dan Harapan ke Depan
Perjuangan masyarakat adat masih menghadapi segudang tantangan. Impunitas terhadap pelaku kekerasan, lemahnya penegakan hukum, lambatnya proses pengakuan wilayah adat, serta terus berlanjutnya ekspansi investasi yang mengancam adalah rintangan besar. Politik lokal dan nasional yang belum sepenuhnya berpihak pada hak-hak masyarakat adat juga menjadi batu sandungan.
Namun, di tengah tantangan itu, ada secercah harapan. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 adalah momentum penting yang menegaskan kembali hak-hak masyarakat adat atas hutan mereka. Pengakuan beberapa wilayah adat oleh pemerintah daerah, meski masih terbatas, menunjukkan adanya kemajuan. Meningkatnya kesadaran publik, dukungan dari berbagai elemen masyarakat, serta ketahanan luar biasa dari komunitas adat itu sendiri menjadi modal berharga dalam melanjutkan perjuangan.
Kesimpulan: Membangun Keadilan Agraria untuk Indonesia yang Lestari
Konflik agraria yang melanda masyarakat adat adalah cerminan kegagalan negara dalam melindungi hak-hak dasar warganya dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang sebidang tanah, melainkan tentang keadilan, martabat, dan kelangsungan hidup sebuah peradaban. Mengabaikan jeritan tanah dan perjuangan masyarakat adat berarti mengabaikan keberlanjutan ekologi dan keragaman budaya bangsa ini.
Penyelesaian konflik agraria secara fundamental memerlukan reformasi agraria sejati yang berpihak pada rakyat, pengakuan penuh atas hak-hak masyarakat adat dan wilayah ulayat mereka, penegakan hukum yang adil, serta penghentian praktik kriminalisasi. Penting untuk menggeser paradigma pembangunan dari eksploitasi yang merusak menuju model yang inklusif, berkelanjutan, dan menghormati hak-hak asasi manusia.
Ketika tanah berteriak, itu adalah panggilan bagi kita semua untuk bertindak. Mendukung perjuangan masyarakat adat bukan hanya tentang membantu mereka mempertahankan tanah mereka, tetapi juga tentang mempertahankan warisan bersama, menjaga keseimbangan alam, dan membangun fondasi keadilan agraria untuk Indonesia yang lebih baik dan lestari di masa depan. Hanya dengan menghormati tanah dan para penjaganya, kita bisa memastikan bahwa "tanah air" benar-benar menjadi "tanah hidup" bagi semua.