Politik Kesetaraan yang Pincang: Mengurai Akar Keterabaian Isu Disabilitas dalam Pusaran Kebijakan dan Kekuasaan
Di tengah hiruk-pikuk janji-janji politik tentang kesetaraan, keadilan, dan inklusivitas, ada satu kelompok masyarakat yang suara dan kebutuhannya seringkali tenggelam dalam kebisingan: penyandang disabilitas. Meskipun Undang-Undang, konvensi internasional, dan retorika politik kerap menggemakan komitmen terhadap hak-hak mereka, realitas di lapangan masih jauh dari ideal. Isu disabilitas, alih-alih menjadi arus utama dalam agenda pembangunan, seringkali terpinggirkan sebagai isu "niche" atau tanggung jawab sosial semata. Mengapa demikian? Mengapa dalam politik kesetaraan yang kita dambakan, isu disabilitas masih terabaikan, bahkan cenderung termarjinalkan, dalam pusaran kebijakan dan kekuasaan?
Artikel ini akan menyelami lebih dalam akar-akar keterabaian ini, menganalisis faktor-faktor kompleks yang menghalangi terwujudnya kesetaraan substantif bagi penyandang disabilitas. Kita akan mengupas bagaimana stigma sosial, kurangnya representasi politik, prioritas kebijakan yang bergeser, minimnya data, infrastruktur yang tidak aksesibel, alokasi anggaran yang tidak memadai, serta kerangka hukum yang lemah atau implementasi yang mandul, secara kolektif menciptakan sebuah politik kesetaraan yang pincang.
Membongkar Mitos "Kesetaraan yang Sudah Ada"
Narasi umum seringkali mengklaim bahwa "semua orang sudah setara di mata hukum," namun ini adalah kesetaraan yang bersifat formalistik. Bagi penyandang disabilitas, kesetaraan bukan hanya tentang memiliki hak yang sama di atas kertas, melainkan juga tentang memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses, berpartisipasi, dan berkontribusi penuh dalam masyarakat. Kesetaraan substantif memerlukan pengakuan akan hambatan struktural dan sikap yang mereka hadapi, serta upaya proaktif untuk menghilangkan hambatan tersebut. Ketika sebuah masyarakat gagal menyediakan infrastruktur yang aksesibel, pendidikan inklusif, atau pekerjaan yang setara, maka klaim kesetaraan hanyalah fatamorgana.
Fenomena "invisibilitas" adalah kunci dalam memahami keterabaian ini. Penyandang disabilitas seringkali tidak terlihat dalam statistik, dalam media, dan yang paling krusial, dalam arena politik. Ketika mereka tidak terlihat, kebutuhan mereka tidak diperhitungkan, dan masalah mereka tidak diangkat menjadi prioritas. Ini adalah lingkaran setan yang mengabadikan marginalisasi.
Akar Keterabaian: Mengapa Isu Disabilitas Terpinggirkan?
Keterabaian isu disabilitas dalam politik bukanlah sebuah kebetulan, melainkan hasil dari interaksi berbagai faktor yang kompleks dan saling menguatkan:
1. Stigma dan Stereotip Sosial yang Mengakar
Salah satu hambatan paling fundamental adalah stigma dan stereotip sosial yang masih kuat di masyarakat. Disabilitas seringkali dilihat melalui lensa model medis, di mana fokusnya adalah "menyembuhkan" atau "memperbaiki" individu, bukan menghilangkan hambatan lingkungan. Model ini menempatkan disabilitas sebagai tragedi pribadi atau objek belas kasihan, bukan sebagai bagian alami dari keragaman manusia.
Stigma ini termanifestasi dalam berbagai bentuk: paternalisme (anggapan bahwa penyandang disabilitas tidak mampu membuat keputusan sendiri), infantilisme (memperlakukan orang dewasa dengan disabilitas seperti anak-anak), dan demonisasi (anggapan bahwa disabilitas adalah kutukan atau hukuman). Ketika pandangan ini meresap ke dalam kesadaran kolektif, ia secara inheren merendahkan nilai dan potensi penyandang disabilitas, membuat suara mereka kurang diperhatikan dalam diskursus publik dan politik. Anggapan bahwa "mereka sudah diurus" oleh keluarga atau lembaga amal membuat pemerintah merasa tidak perlu intervensi lebih jauh.
2. Kurangnya Representasi dan Partisipasi Politik
Prinsip "Nothing About Us, Without Us" adalah fondasi gerakan hak-hak disabilitas global. Namun, di banyak negara, termasuk Indonesia, representasi penyandang disabilitas dalam lembaga-lembaga politik—dari tingkat lokal hingga nasional—masih sangat minim. Ada berbagai hambatan yang menghalangi partisipasi politik mereka:
- Hambatan Fisik: Tempat pemungutan suara yang tidak aksesibel, transportasi umum yang sulit dijangkau, dan gedung pemerintahan yang tidak ramah disabilitas.
- Hambatan Sikap: Prasangka dari partai politik, kurangnya dukungan untuk calon penyandang disabilitas, dan anggapan bahwa mereka tidak "kompeten" untuk memegang jabatan publik.
- Hambatan Informasi: Kampanye politik yang tidak menyediakan informasi dalam format aksesibel (misalnya, bahasa isyarat, braille, atau teks mudah dibaca).
Ketika penyandang disabilitas tidak duduk di meja perumusan kebijakan, perspektif, pengalaman, dan kebutuhan unik mereka seringkali tidak terwakili. Kebijakan yang dibuat cenderung bersifat "untuk mereka" bukan "bersama mereka," yang seringkali menghasilkan solusi yang tidak efektif atau bahkan kontraproduktif.
3. Prioritas Kebijakan yang Bergeser dan Perspektif yang Sempit
Isu disabilitas seringkali dianggap sebagai "isu pinggiran" yang bisa ditunda atau diselesaikan nanti, setelah isu-isu "utama" seperti ekonomi, keamanan, atau kesehatan umum teratasi. Para pembuat kebijakan dan politisi mungkin gagal melihat bagaimana disabilitas beririsan dengan hampir setiap aspek pembangunan. Kemiskinan, pengangguran, kurangnya akses pendidikan, dan masalah kesehatan seringkali diperparah oleh disabilitas, menjadikannya isu lintas sektor yang harus diintegrasikan ke dalam setiap kebijakan pembangunan.
Kegagalan untuk melihat disabilitas sebagai isu pembangunan yang fundamental dan universal menunjukkan kurangnya pemahaman holistik. Ini adalah cerminan dari mentalitas yang masih memisahkan "normal" dari "lainnya," dan menganggap bahwa inklusi adalah sebuah "ekstra" daripada sebuah hak dasar.
4. Data dan Riset yang Minim dan Tidak Akurat
"If you’re not counted, you don’t count." Pepatah ini sangat relevan untuk penyandang disabilitas. Di banyak negara, data tentang jumlah penyandang disabilitas, jenis disabilitas yang mereka miliki, dan hambatan spesifik yang mereka hadapi, sangat terbatas atau tidak akurat. Sensus penduduk seringkali tidak memiliki metodologi yang tepat untuk mengidentifikasi disabilitas secara komprehensif, dan survei rumah tangga jarang mengumpulkan data yang terpilah berdasarkan disabilitas.
Tanpa data yang robust dan terpilah, sulit bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang berbasis bukti, mengalokasikan anggaran secara efektif, atau memantau kemajuan. Para advokat disabilitas juga kesulitan untuk membuat kasus yang kuat untuk perubahan kebijakan tanpa angka-angka yang mendukung. Ini menciptakan siklus di mana masalah disabilitas tetap tidak terlihat, tidak terukur, dan akhirnya tidak ditangani.
5. Infrastruktur dan Aksesibilitas yang Belum Memadai
Meskipun ada kemajuan di beberapa area, sebagian besar infrastruktur publik—mulai dari transportasi, gedung-gedung pemerintah, fasilitas kesehatan, sekolah, hingga platform digital—masih belum sepenuhnya aksesibel. Tangga tanpa ramp, toilet yang tidak dirancang untuk pengguna kursi roda, informasi publik yang tidak tersedia dalam format aksesibel, atau kurangnya petugas yang terlatih dalam bahasa isyarat, adalah contoh nyata hambatan yang tak terlihat bagi banyak orang.
Ketiadaan aksesibilitas ini bukan hanya ketidaknyamanan, melainkan sebuah bentuk eksklusi yang sistematis. Ini mencegah penyandang disabilitas untuk mengakses pendidikan, pekerjaan, layanan kesehatan, dan partisipasi sosial-politik, yang pada gilirannya membatasi kemandirian dan kontribusi mereka kepada masyarakat. Investasi dalam aksesibilitas seringkali dianggap sebagai biaya tambahan, bukan sebagai investasi esensial dalam sumber daya manusia dan keadilan sosial.
6. Alokasi Anggaran yang Minim dan Tidak Tepat Sasaran
Salah satu indikator paling jelas dari prioritas politik adalah alokasi anggaran. Seringkali, anggaran yang dialokasikan untuk isu disabilitas sangat minim, tidak proporsional dengan jumlah dan kebutuhan penyandang disabilitas. Bahkan ketika ada anggaran, seringkali disalurkan melalui program-program yang bersifat karitatif atau proyek-proyek ad-hoc, bukan melalui investasi sistematis dalam pembangunan inklusif.
Anggaran yang minim mencerminkan pandangan bahwa isu disabilitas adalah beban, bukan investasi. Investasi dalam pendidikan inklusif, pelatihan keterampilan, aksesibilitas, dan dukungan hidup mandiri tidak hanya memberdayakan individu, tetapi juga meningkatkan produktivitas ekonomi dan mengurangi ketergantungan jangka panjang. Namun, perspektif jangka pendek seringkali mendominasi, mengorbankan keuntungan jangka panjang.
7. Kerangka Hukum yang Lemah atau Implementasi yang Mandul
Banyak negara telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) dan memiliki undang-undang nasional yang bertujuan melindungi hak-hak mereka. Namun, seringkali ada kesenjangan besar antara "hukum di atas kertas" (de jure) dan "hukum dalam praktik" (de facto).
Beberapa masalah yang muncul:
- Kelemahan Regulasi Turunan: Undang-undang induk mungkin ada, tetapi peraturan pelaksana yang detail dan jelas seringkali lambat terbit atau tidak komprehensif.
- Kurangnya Penegakan: Bahkan ketika regulasi ada, penegakan hukum seringkali lemah. Pelanggaran hak-hak penyandang disabilitas mungkin tidak diproses secara efektif, atau sanksi tidak diterapkan.
- Mekanisme Pengawasan yang Lemah: Kurangnya lembaga independen yang kuat untuk memantau implementasi kebijakan dan menangani pengaduan dari penyandang disabilitas.
Tanpa penegakan yang kuat dan mekanisme akuntabilitas yang efektif, undang-undang hanyalah janji kosong, yang semakin memperkuat rasa frustrasi dan keterabaian di kalangan penyandang disabilitas.
Jalan ke Depan: Menuju Politik Kesetaraan yang Inklusif
Mengatasi keterabaian isu disabilitas memerlukan perubahan paradigma yang fundamental—dari model medis/amal menuju model hak asasi manusia. Ini berarti melihat penyandang disabilitas sebagai pemegang hak yang memiliki martabat dan kapasitas, serta menghilangkan hambatan yang mencegah mereka menikmati hak-hak tersebut. Beberapa langkah kunci meliputi:
- Penguatan Partisipasi Politik: Mendorong dan mendukung penyandang disabilitas untuk terlibat aktif dalam setiap tahapan proses politik, dari pemilu hingga perumusan kebijakan. Ini termasuk menghilangkan hambatan fisik, sikap, dan informasi.
- Integrasi Lintas Sektor (Mainstreaming): Memastikan bahwa isu disabilitas tidak lagi menjadi "isu terpisah," melainkan terintegrasi dalam semua kebijakan dan program pembangunan—pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, transportasi, dan lain-lain.
- Investasi pada Data dan Riset: Mengumpulkan data yang akurat, terpilah, dan komprehensif tentang penyandang disabilitas untuk menjadi dasar perumusan kebijakan berbasis bukti.
- Peningkatan Aksesibilitas Universal: Membangun lingkungan fisik dan digital yang aksesibel untuk semua, sebagai sebuah norma, bukan pengecualian.
- Alokasi Anggaran yang Memadai dan Berkeadilan: Mengalokasikan anggaran yang cukup dan efektif untuk program-program inklusif, melihatnya sebagai investasi dalam sumber daya manusia.
- Penegakan Hukum yang Tegas: Memastikan bahwa kerangka hukum yang ada ditegakkan secara efektif, dengan mekanisme pengawasan dan sanksi yang jelas.
- Edukasi dan Kampanye Publik: Mengubah stigma dan stereotip melalui pendidikan publik dan kampanye kesadaran yang menyoroti potensi dan kontribusi penyandang disabilitas.
- Pendekatan Interseksional: Mengakui bahwa penyandang disabilitas seringkali menghadapi diskriminasi ganda atau multipel (misalnya, perempuan disabilitas, disabilitas dari kelompok minoritas), dan merancang kebijakan yang responsif terhadap kerentanan ini.
Kesimpulan
Keterabaian isu disabilitas dalam politik kesetaraan adalah cermin dari kegagalan kolektif kita untuk sepenuhnya merangkul prinsip inklusivitas sejati. Ini bukan hanya masalah moral, melainkan juga masalah keadilan sosial, ekonomi, dan pembangunan berkelanjutan. Sebuah masyarakat yang menyingkirkan sebagian anggotanya tidak akan pernah mencapai potensi penuhnya.
Untuk menciptakan politik kesetaraan yang benar-benar adil, kita harus berani menantang stigma yang mengakar, menghilangkan hambatan struktural, dan memastikan bahwa suara penyandang disabilitas tidak hanya didengar, tetapi juga diintegrasikan secara penuh dalam setiap aspek kehidupan publik. Ini membutuhkan bukan hanya janji-janji manis di atas panggung politik, tetapi juga kemauan politik yang kuat, alokasi sumber daya yang memadai, dan komitmen yang tak tergoyahkan untuk membangun masyarakat di mana setiap individu, terlepas dari kemampuannya, memiliki kesempatan yang sama untuk hidup bermartabat, berpartisipasi, dan berkembang. Hanya dengan demikian, politik kesetaraan kita akan berhenti pincang dan mulai berjalan tegak, merangkul semua warganya tanpa terkecuali.