Timor: Jejak Mimpi dan Realita Pahit Mobil Nasional Indonesia – Sebuah Epik Kemandirian yang Terganjal Badai
Sejak era kemerdekaan, gagasan tentang memiliki "mobil nasional" telah menjadi impian kolektif bangsa Indonesia. Lebih dari sekadar alat transportasi, mobil nasional adalah simbol kemandirian ekonomi, kebanggaan teknologi, dan indikator kemajuan industri sebuah negara. Dalam rentang sejarah panjang upaya mewujudkan mimpi ini, satu nama berdiri paling menonjol, sekaligus paling kontroversial: Timor. Kisahnya adalah epik ambisi yang membumbung tinggi, kontroversi yang membelit, dan kejatuhan yang tragis, menyajikan potret kompleks antara harapan dan realita pahit dalam pembangunan industri otomotif Indonesia.
I. Akar Gagasan dan Latar Belakang: Mengapa Mobil Nasional?
Keinginan Indonesia untuk memproduksi mobilnya sendiri bukanlah hal baru. Sejak kepemimpinan Presiden Soekarno, ide tentang industrialisasi mandiri telah mengemuka. Di era Orde Baru, dengan fokus pada pembangunan ekonomi dan industrialisasi, gagasan ini kembali menguat. Pemerintah melihat potensi besar di sektor otomotif, tidak hanya sebagai pasar konsumsi tetapi juga sebagai tulang punggung manufaktur yang dapat menciptakan lapangan kerja, mendorong transfer teknologi, dan menghemat devisa.
Pada awal 1990-an, industri otomotif Indonesia didominasi oleh merek-merek Jepang yang dirakit secara lokal dengan komponen impor. Meskipun ada upaya lokalisasi, kandungan lokal masih terbatas dan merek-merek tersebut sepenuhnya dimiliki oleh prinsipal asing. Kondisi ini memicu pemikiran bahwa Indonesia perlu memiliki merek dan desainnya sendiri, atau setidaknya, sebuah mobil yang bisa diklaim sebagai "milik bangsa" dengan tingkat kandungan lokal yang signifikan.
Beberapa inisiatif mobil nasional sempat muncul di awal hingga pertengahan 1990-an, seperti Kancil atau Beta. Namun, proyek-proyek ini umumnya berskala kecil, kurang mendapat dukungan pemerintah pusat secara signifikan, dan belum mampu bersaing di pasar yang ketat. Hingga pada tahun 1996, sebuah deklarasi ambisius lahir, didukung penuh oleh kekuasaan tertinggi, yang akan mengubah lanskap industri otomotif nasional: proyek Mobil Nasional Timor.
II. Kelahiran Timor: Dekrit Presiden dan Ambisi Putra Mahkota
Pada tanggal 23 Februari 1996, melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 1996 tentang Pembangunan Industri Mobil Nasional, Presiden Soeharto secara resmi meluncurkan program Mobil Nasional. Inpres ini kemudian diikuti oleh Keputusan Presiden (Keppres) No. 42 Tahun 1996 yang memberikan fasilitas khusus kepada satu perusahaan yang ditunjuk untuk melaksanakan program ini. Perusahaan tersebut adalah PT Timor Putra Nasional (TPN), yang dimiliki dan dipimpin oleh Hutomo Mandala Putra, atau yang lebih dikenal dengan Tommy Soeharto, putra bungsu Presiden Soeharto.
Penunjukan TPN sebagai pelaksana proyek Mobil Nasional secara eksklusif segera memicu kontroversi. Dasar hukum yang melandasi proyek ini, terutama Keppres No. 42/1996, memberikan fasilitas fiskal yang luar biasa: pembebasan bea masuk dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk komponen impor yang digunakan dalam perakitan mobil nasional, serta pembebasan bea masuk untuk mobil CBU (Completely Built Up) yang diimpor pada tahap awal. Syarat untuk mendapatkan fasilitas ini adalah perusahaan tersebut harus 100% dimiliki oleh warga negara Indonesia dan menggunakan merek nasional.
TPN kemudian menjalin kerja sama dengan Kia Motors dari Korea Selatan. Mobil yang dipilih sebagai basis Timor adalah Kia Sephia (di beberapa pasar dikenal sebagai Kia Mentor atau Kia Credos). Mobil ini kemudian di-rebadge menjadi Timor S515i (sedan) dan Timor SW516i (station wagon). Pada tahap awal, TPN mengimpor Timor S515i secara utuh (CBU) dari Korea Selatan, yang kemudian dijual dengan harga jauh lebih murah dibandingkan mobil sejenis dari merek lain karena bebas pajak. Ini adalah poin kunci yang akan menjadi bumerang bagi proyek tersebut.
III. Harapan yang Membumbung Tinggi: Simbol Kemandirian dan Keterjangkauan
Peluncuran Timor disambut dengan antusiasme yang luar biasa dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Iklan-iklan gencar menyuarakan "Timor: Mobil Kebanggaan Bangsa" dan "Timor: Mobil Nasional Kita". Bagi banyak orang, Timor bukan hanya sekadar mobil, tetapi representasi dari mimpi lama akan kemandirian teknologi dan industri. Ini adalah harapan bahwa Indonesia akhirnya bisa sejajar dengan negara-negara maju yang memiliki industri otomotif sendiri.
Harga menjadi daya tarik utama Timor. Dengan fasilitas pembebasan pajak, Timor S515i CBU dijual sekitar Rp 35 juta, jauh di bawah harga mobil sekelasnya dari merek Jepang yang bisa mencapai Rp 50-70 juta. Keterjangkauan ini membuka peluang bagi segmen masyarakat yang sebelumnya sulit memiliki mobil baru. Daftar tunggu pembelian pun mengular, menunjukkan tingginya minat dan kepercayaan publik terhadap proyek ini.
Pemerintah dan TPN juga menjanjikan transfer teknologi, penciptaan lapangan kerja, dan pengembangan industri komponen lokal. Rencananya, setelah fase impor CBU, Timor akan dirakit secara lokal (CKD – Completely Knocked Down) dengan peningkatan kandungan lokal secara bertahap. Pabrik perakitan TPN di Cikampek, Jawa Barat, dipersiapkan untuk menjadi pusat produksi mobil nasional yang mandiri. Harapan akan efek domino ekonomi dari proyek ini sangat besar, mulai dari pemasok komponen, dealer, hingga bengkel dan jasa terkait lainnya.
IV. Realita yang Penuh Kontroversi: Diskriminasi dan Kecaman Internasional
Namun, di balik euforia nasionalisme, realita pahit dan kontroversi mengintai. Sejak awal, proyek Timor dihujani kritik tajam dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri.
A. Bukan Mobil Nasional Sejati: Kritikus menyoroti bahwa Timor S515i yang diimpor pada tahap awal adalah 100% Kia Sephia, hanya diganti logo. Kandungan lokal nol. Bahkan ketika rencana perakitan CKD dimulai, sebagian besar komponen masih diimpor dari Korea Selatan. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang "nasionalisme" mobil Timor, yang lebih tepat disebut "mobil rebadge" atau "mobil impor dengan label nasional".
B. Persaingan Tidak Sehat: Fasilitas pembebasan pajak yang diberikan kepada Timor dianggap sebagai diskriminasi terang-terangan terhadap produsen mobil lain yang beroperasi di Indonesia. Merek-merek Jepang seperti Toyota, Honda, Mitsubishi, dan juga produsen lokal yang sudah lama berinvestasi di Indonesia, harus membayar bea masuk dan PPnBM yang tinggi untuk komponen impor mereka. Ini membuat mereka tidak mampu bersaing harga dengan Timor, meskipun mereka telah berkontribusi besar terhadap perekonomian dan penyerapan tenaga kerja. Mereka protes keras, merasa dirugikan oleh kebijakan yang tidak adil.
C. Kecaman dan Gugatan Internasional: Kontroversi ini segera menarik perhatian komunitas internasional. Jepang, Uni Eropa, dan terutama Amerika Serikat, yang memiliki kepentingan besar di pasar otomotif Indonesia, mengajukan keberatan resmi kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mereka menuduh Indonesia melanggar prinsip-prinsip perdagangan bebas dan non-diskriminasi yang diatur dalam WTO.
Pada Oktober 1997, setelah melalui proses panel dan banding, WTO mengeluarkan putusan yang mengejutkan: Indonesia dinyatakan bersalah melanggar ketentuan WTO terkait program Mobil Nasional Timor. WTO memerintahkan Indonesia untuk mencabut semua fasilitas diskriminatif yang diberikan kepada TPN. Putusan ini adalah pukulan telak bagi program Timor, karena tanpa fasilitas pajak, harga jual Timor akan melambung tinggi, menghilangkan keunggulan kompetitif utamanya.
D. Isu Kualitas dan Layanan: Selain masalah kebijakan, beberapa laporan awal juga mengemukakan isu-isu terkait kualitas perakitan dan ketersediaan suku cadang. Meskipun ini seringkali menjadi tantangan umum bagi merek baru, persepsi publik terhadap kualitas dan layanan purna jual menjadi faktor penting dalam keberlanjutan sebuah merek.
V. Badai Krisis Moneter dan Kejatuhan yang Tragis
Ironisnya, saat kontroversi Timor mencapai puncaknya di kancah internasional, badai yang jauh lebih besar sedang mendekat. Pada pertengahan 1997, Asia Tenggara dilanda Krisis Moneter (Krismon) yang parah. Indonesia adalah salah satu negara yang paling terpukul. Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat anjlok drastis dari sekitar Rp 2.500 menjadi puncaknya di atas Rp 15.000. Suku bunga melambung tinggi, dan ekonomi nasional terguncang hebat.
Dampak Krismon terhadap proyek Timor sangat fatal:
- Biaya Impor Melonjak: Karena sebagian besar komponen Timor, bahkan untuk perakitan CKD, masih diimpor dari Korea Selatan, depresiasi Rupiah membuat biaya produksi melambung tinggi dan tidak terkendali. Harga jual yang semula murah menjadi tidak realistis.
- Daya Beli Menurun: Krisis ekonomi menyebabkan daya beli masyarakat anjlok drastis. Pasar otomotif, yang sangat sensitif terhadap kondisi ekonomi, lumpuh total. Penjualan mobil merosot tajam.
- Kondisi IMF: Sebagai bagian dari paket penyelamatan IMF untuk Indonesia, salah satu syarat utamanya adalah penghapusan semua praktik monopoli dan distorsi pasar, termasuk fasilitas khusus untuk proyek Mobil Nasional Timor. Tekanan dari IMF mempercepat pencabutan kebijakan diskriminatif tersebut.
- Kehilangan Dukungan Politik: Dengan semakin parahnya krisis dan gejolak politik yang mengarah pada jatuhnya Orde Baru pada Mei 1998, dukungan politik terhadap proyek Timor, yang sangat bergantung pada koneksi kekuasaan, lenyap.
Dalam waktu singkat, proyek Timor yang ambisius itu kolaps. Produksi berhenti total, pabrik sepi, dan janji-janji akan mobil nasional yang murah dan mandiri hanya tinggal kenangan. Ribuan unit Timor yang sudah diproduksi atau diimpor menjadi barang tidak terjual atau terdampar. TPN menghadapi kesulitan finansial yang parah dan tidak mampu lagi melanjutkan operasinya.
VI. Warisan dan Pelajaran: Antara Mimpi yang Tak Padam dan Realita yang Mengajar
Meskipun berakhir tragis, kisah Timor meninggalkan warisan yang kompleks dan pelajaran berharga bagi Indonesia.
A. Warisan:
- Simbol Kegagalan Top-Down: Timor menjadi contoh klasik kegagalan proyek industri yang terlalu bergantung pada dukungan politik, fasilitas diskriminatif, dan minimnya basis riset dan pengembangan (R&D) yang kuat. Ini menunjukkan bahwa kemandirian industri tidak bisa dipaksakan melalui dekrit presiden semata.
- Pentingnya Kepatuhan WTO: Pengalaman Timor mempertegas pentingnya mematuhi aturan perdagangan internasional dan menghindari kebijakan proteksionisme yang diskriminatif. Pelanggaran aturan dapat berakibat pada sanksi dan kerugian ekonomi yang lebih besar.
- Mimpi yang Tak Pernah Padam: Meskipun Timor gagal, ide tentang "mobil nasional" tidak pernah sepenuhnya mati. Setelah Timor, berbagai inisiatif lain muncul, seperti Esemka, Gea, Tawon, dan lainnya, meskipun dengan pendekatan yang lebih hati-hati dan berbasis pasar. Ini menunjukkan bahwa aspirasi bangsa untuk memiliki mobil sendiri tetap kuat.
B. Pelajaran:
- Basis Riset dan Pengembangan (R&D) yang Kuat: Sebuah mobil nasional sejati harus dimulai dari desain dan pengembangan yang orisinal, bukan hanya rebadge produk asing. Ini membutuhkan investasi besar dalam R&D, SDM, dan teknologi.
- Kandungan Lokal yang Autentik: Peningkatan kandungan lokal harus terjadi secara organik dan berkelanjutan, didukung oleh industri komponen yang kompetitif dan berkualitas, bukan sekadar angka yang dipaksakan.
- Persaingan Sehat dan Pasar yang Adil: Industri otomotif yang sehat membutuhkan lingkungan persaingan yang adil dan terbuka. Kebijakan pemerintah harus mendukung inovasi dan efisiensi, bukan menciptakan monopoli atau distorsi pasar.
- Dukungan Jangka Panjang, Bukan Instan: Pembangunan industri otomotif adalah maraton, bukan sprint. Dibutuhkan visi jangka panjang, konsistensi kebijakan, dan dukungan yang berkelanjutan dari pemerintah, tanpa harus melanggar aturan perdagangan internasional.
Kesimpulan
Kisah Mobil Nasional Timor adalah cerminan paradoks pembangunan di Indonesia: antara ambisi besar untuk mandiri dan realita pahit ketergantungan serta gejolak politik-ekonomi. Timor adalah sebuah "epik" yang dimulai dengan harapan kemandirian yang membumbung tinggi, menjadi simbol kebanggaan sesaat, namun kemudian terjerat dalam kontroversi diskriminasi dan akhirnya karam diterjang badai krisis moneter dan putusan WTO.
Meskipun telah lama berlalu, puing-puing pengalaman Timor tetap menjadi pengingat yang kuat. Ini mengajarkan bahwa mimpi besar harus dibangun di atas fondasi yang kokoh: inovasi, keadilan, dan keberlanjutan, bukan hanya pada kekuasaan atau kebijakan sesaat. Mimpi memiliki mobil nasional Indonesia mungkin masih akan terus ada, tetapi pelajaran dari Timor akan selalu menjadi kompas berharga untuk menavigasi perjalanan ke depan, agar tidak lagi terperosok dalam jebakan harapan palsu dan realita yang menyakitkan.