Wacana amandemen UUD 1945 kembali mencuat dan menjadi bahan diskusi publik dalam beberapa pekan terakhir. Salah satu isu yang paling banyak dibahas adalah kemungkinan dihidupkannya kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman pembangunan jangka panjang nasional. Ide ini bukan hal baru, namun setiap kali muncul, selalu memantik perdebatan luas mengenai arah demokrasi, konsistensi pembangunan, hingga posisi lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Banyak kalangan menilai, dorongan untuk menghidupkan kembali GBHN berangkat dari kebutuhan akan arah pembangunan yang lebih terkoordinasi dan berkelanjutan. Sejak reformasi dan dihapuskannya GBHN, perencanaan pembangunan jangka panjang bergantung pada visi-misi presiden terpilih. Pola ini dianggap membuat setiap pergantian pemerintahan berpotensi menciptakan perubahan kebijakan yang drastis. Dengan GBHN, arah pembangunan nasional dinilai bisa lebih konsisten dan tidak sekadar bergantung pada perubahan politik lima tahunan.
Namun, wacana ini tidak lepas dari kritik. Sebagian pihak khawatir pengembalian GBHN akan menggeser kembali keseimbangan kekuasaan negara, terutama jika nantinya GBHN ditetapkan oleh MPR. Kekhawatiran tersebut muncul karena adanya potensi penguatan kembali posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sebuah konsep yang telah ditinggalkan sejak era reformasi untuk memastikan tidak ada lembaga negara yang memiliki kekuasaan absolut. Para kritikus menilai bahwa perubahan tersebut bisa membuka celah bagi sentralisasi kekuasaan dan melemahkan sistem presidensial yang sekarang dianut.
Selain itu, perdebatan juga merambah pada pertanyaan praktis: apakah Indonesia benar-benar membutuhkan GBHN baru? Pembangunan nasional sejatinya telah memiliki peta jalan resmi, seperti RPJPN, RPJMN, dan berbagai kebijakan jangka panjang yang disusun oleh Bappenas. Pendukung amandemen menilai keberadaan dokumen tersebut belum memiliki kekuatan hukum dan posisi politik sekuat GBHN, sementara pihak yang menolak berpendapat bahwa peta pembangunan yang ada sudah cukup dan hanya perlu diperkuat implementasinya.
Di tengah polemik tersebut, wacana amandemen UUD 1945 menjadi sorotan utama dalam ruang publik, terutama karena menyangkut dasar negara dan struktur kekuasaan. Tidak sedikit yang mengingatkan bahwa amandemen konstitusi bukanlah perkara sederhana. Perubahan UUD harus dilakukan secara hati-hati, transparan, dan melalui kajian mendalam agar tidak menimbulkan risiko terhadap demokrasi dan tata kelola pemerintahan.
Di sisi lain, isu ini juga memperlihatkan bagaimana masyarakat semakin aktif mengawasi setiap perbincangan mengenai perubahan konstitusi. Reaksi publik menunjukkan sensitivitas tinggi terhadap wacana politik yang berpotensi mengubah arah negara. Hal ini menjadi tanda bahwa demokrasi di Indonesia berkembang, dengan warga negara yang semakin peduli terhadap proses pengambilan keputusan di tingkat tertinggi.
Wacana mengenai amandemen UUD 1945 dan pengembalian GBHN pada akhirnya mempertemukan berbagai kepentingan dan pandangan. Sebagian melihatnya sebagai peluang untuk memperbaiki tata kelola pembangunan nasional, sementara sebagian lain menilai bahwa risiko perubahan struktur kekuasaan terlalu besar untuk diambil. Yang jelas, diskusi ini masih akan terus mengemuka, dan keputusan apa pun nantinya harus melalui proses deliberasi yang matang, partisipatif, serta mengutamakan kepentingan publik.
Dengan dinamika politik yang terus bergerak, sorotan terhadap isu GBHN dan amandemen UUD 1945 menunjukkan bahwa masyarakat tidak hanya menunggu hasilnya, tetapi juga ingin terlibat dalam proses penentuannya. Dalam konteks inilah, transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan informasi menjadi kunci untuk memastikan bahwa setiap langkah perubahan konstitusi tetap berada dalam koridor demokrasi yang sehat dan berkelanjutan.












