Seiring dengan polemik seputar Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru, wacana digitalisasi sistem peradilan kembali mengemuka. Isu ini muncul sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, dan aksesibilitas hukum di Indonesia. Digitalisasi peradilan dianggap mampu menjawab sejumlah tantangan yang kerap terjadi dalam praktik hukum konvensional, termasuk lambannya proses persidangan dan risiko korupsi yang masih menghantui lembaga peradilan.
Polemik KUHAP baru yang ramai diperbincangkan publik menyoroti sejumlah pasal yang dianggap kontroversial, termasuk kewenangan aparat penegak hukum yang berpotensi melanggar hak-hak tersangka. Di tengah kritik masyarakat, pemerintah dan DPR mulai meninjau ulang mekanisme hukum yang berlaku. Dalam konteks ini, digitalisasi menjadi topik hangat karena dianggap dapat menciptakan sistem peradilan yang lebih akuntabel dan minim praktik penyimpangan.
Salah satu inovasi utama yang diusulkan adalah penerapan e-court atau pengadilan elektronik. Sistem ini memungkinkan seluruh proses persidangan, mulai dari pendaftaran perkara hingga pengumuman putusan, dilakukan secara digital. Keuntungan dari e-court bukan hanya pada efisiensi waktu, tetapi juga pada rekam jejak elektronik yang lebih transparan. Dengan demikian, potensi manipulasi dokumen atau intervensi pihak-pihak tertentu dapat diminimalkan.
Selain e-court, digitalisasi juga mencakup penggunaan dokumen elektronik (e-document) dan sistem manajemen kasus berbasis daring. Dokumen elektronik memungkinkan penyimpanan dan pengiriman berkas secara digital, mengurangi kebutuhan arsip fisik yang rawan hilang atau rusak. Sementara itu, manajemen kasus berbasis daring memungkinkan hakim, jaksa, dan pengacara memantau perkembangan perkara secara real-time. Hal ini tidak hanya mempercepat proses hukum, tetapi juga meningkatkan akuntabilitas setiap pihak yang terlibat.
Pakar hukum menilai bahwa digitalisasi sistem peradilan tidak bisa dilepaskan dari upaya reformasi hukum secara menyeluruh. Teknologi memang dapat menjadi alat untuk meningkatkan kualitas layanan hukum, namun tanpa regulasi yang jelas dan pelatihan bagi aparat hukum, implementasi digitalisasi berisiko menimbulkan masalah baru. Misalnya, keamanan data digital dan kemampuan pengguna dalam mengoperasikan sistem menjadi tantangan yang harus diatasi.
Di sisi lain, masyarakat pun perlu dilibatkan dalam proses transformasi digital ini. Edukasi publik mengenai mekanisme e-court, hak-hak hukum, dan prosedur peradilan digital akan membantu meningkatkan partisipasi serta kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Dengan pemahaman yang lebih baik, masyarakat dapat memanfaatkan teknologi untuk mengawal jalannya proses hukum secara transparan.
Pemerintah sendiri menegaskan bahwa wacana digitalisasi sistem peradilan bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal reformasi budaya hukum. Aparat hukum dituntut untuk lebih profesional, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Integrasi teknologi dengan reformasi hukum diyakini dapat menciptakan peradilan yang modern dan berkeadilan, sekaligus menurunkan risiko ketimpangan hukum yang selama ini menjadi sorotan publik.
Dalam jangka panjang, digitalisasi peradilan berpotensi menjadi jawaban atas berbagai persoalan klasik dalam sistem hukum Indonesia. Meskipun polemik KUHAP baru masih menjadi perdebatan, momentum ini justru dapat dimanfaatkan untuk mendorong transformasi digital yang lebih inklusif dan efektif. Dengan implementasi yang tepat, sistem peradilan modern berbasis teknologi akan menghadirkan proses hukum yang lebih cepat, transparan, dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Digitalisasi sistem peradilan bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak bagi Indonesia untuk menghadapi tantangan hukum di era modern. Reformasi hukum yang didukung teknologi dapat menjadi fondasi bagi kepercayaan publik, memperkuat supremasi hukum, dan memastikan bahwa hak setiap warga negara terlindungi secara optimal.












